Beberapa momen bermain dengan anak selalu bikin saya senyum sendiri — entah saat kertas bekas tiba-tiba jadi kapal bajak laut atau ketika tumpukan bantal di ruang tamu berubah jadi benteng tak tertembus. Mainan itu sebenarnya cuma alat. Yang penting adalah bagaimana kita, sebagai orang tua, memakai alat itu untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, kreatifitas, dan kebersamaan. Saya ingin berbagi tips sederhana yang sudah saya coba di rumah, yang mudah diaplikasikan dan nggak perlu modal besar.
Pilih mainan yang “buka” — lebih banyak ruang untuk imajinasi
Saya selalu memilih mainan yang nggak mengunci cara pakai. Lego, balok kayu, atau boneka kain misalnya. Mainan jenis ini mengajak anak berimajinasi tanpa harus mengikuti instruksi kaku. Kalau ada mainan yang selalu “hanya satu cara” dimainkan, akan cepat bosan. Pilihan mainan yang terbuka membuat anak latihan problem solving secara natural. Saran praktis: jangan buru-buru beli banyak; fokus pada beberapa mainan berkualitas yang bisa dipakai dalam banyak permainan. Oh ya, kadang saya juga mencari ide di toko-toko online kecil atau blog parenting lokal, dan pernah nemu sumber inspirasi menarik di recesspieces untuk permainan yang sederhana tapi edukatif.
Seni menyulap barang rumah jadi mainan—karena kreativitas murah meriah
Serius, saya sering pakai kardus bekas, kertas tisu, tali, dan selotip untuk bikin “proyek” di sore hari. Anak saya, Dita, tiba-tiba jadi arsitek ketika saya beri beberapa kotak dan selotip. Kita buat rumah-rumahan, mobil, atau bahkan stasiun luar angkasa. Yang lucu, setiap proyek selalu berakhir dengan cerita panjang yang mereka ciptakan sendiri. Ide-ide ini juga mengajarkan anak tentang daur ulang tanpa harus kosakata berat-belajar: mereka langsung praktek. Tips kecil: siapkan kotak kecil berlabel ‘kotak kreasi’—isikan dengan barang-barang aman yang boleh dipakai ulang. Simpel, tapi efektif.
Permainan keluarga: bukan kompetisi, tapi momen ngobrol
Permainan keluarga nggak selalu harus kompetitif. Kalau mau suasana hangat, pilih permainan yang mengutamakan kerja sama, seperti scavenger hunt bertema (“Cari tiga benda warna biru di rumah!”) atau cerita bergilir di mana setiap orang menambahkan satu kalimat. Saya suka permainan ini karena bisa memancing tawa dan obrolan. Jujur, saat ayah saya ikut main, spontan muncul cerita masa kecil yang nggak pernah kami dengar sebelumnya. Kesan mendalam itu lebih berharga daripada menang atau kalah. Kalau butuh ide permainan yang lebih terstruktur, saya biasanya catat di buku kecil dan simpan di meja makan — jadi gampang diakses ketika momen “bosan” datang.
Seimbangkan edukasi dan kebebasan — tips parenting sederhana
Pendidikan lewat mainan itu efektif kalau kita nggak memaksa. Anak belajar lebih baik melalui bermain bebas. Fokus pada proses, bukan hasil. Ketika anak menumpuk batu-batu kecil jadi menara, beri pujian untuk usaha, bukan cuma ketinggian menaranya. Buat rutinitas main yang pendek tapi sering — 15-30 menit berkualitas sehari lebih berguna daripada dua jam main tanpa arah. Dan aturan penting: sediakan waktu tanpa gadget. Saya tahu, terkadang kita butuh jeda. Tapi pengaturan kecil, seperti “jam bebas layar setelah makan siang”, sudah cukup untuk mengembalikan kreativitas mereka.
Ada juga teknik sederhana supaya main tetap aman dan edukatif: rotasi mainan. Simpan sebagian mainan di lemari dan ganti setiap minggu. Anak akan merasa mainannya “baru” lagi, dan kita bisa menghindari tumpukan mainan berantakan. Selain itu, libatkan anak dalam memilih mainan dari toko barang bekas atau pasar loak—proses memilih itu sendiri mengajarkan nilai uang dan keputusan.
Nah, terakhir: jangan terlalu perfeksionis. Saya sering berusaha membuat semuanya edukatif, tapi pada akhirnya justru agak kaku. Saat anak sedang tertawa lepas membungkus mainan dengan koran karena bilang itu “kue ultah”, saya berhenti sejenak dan ikut tertawa. Momen kecil itu yang akan jadi kenangan manis. Mainan hanyalah jembatan. Yang lebih penting adalah waktu dan perhatian yang kita beri. Selamat mencoba permainan baru minggu ini — mungkin benteng bantal lagi?