Awal: kantor berantakan—di kepala dan di awan
Pada Januari 2023 saya duduk di meja kerja, di pojok rumah yang jadi kantor darurat sejak pandemi, menatap layar penuh tab browser dan sebuah tumpukan catatan post-it di sekitar monitor. Rasanya seperti punya 20 proyek sekaligus, tetapi tidak ada yang benar-benar terkendali. Pernah coba Evernote selama bertahun-tahun, lalu pindah ke aplikasi lain, sampai akhirnya ke titik frustrasi: catatan tercecer, ide hilang, deadline terlupa. Saya menghela napas dan berpikir, “Ini tidak bisa dibiarkan.” Ada rasa malu kecil — seolah profesional yang berpengalaman juga bisa kewalahan oleh hal sederhana: cara menyimpan informasi.
Mencari solusi: bukan sekadar aplikasi, tapi pola
Perjalanan mencari aplikasi itu bukan instan. Saya membaca review, ikut forum, dan sampai cek artikel ringan di recesspieces yang memberi perspektif tentang bagaimana kebiasaan kecil mengubah produktivitas. Keputusan akhir bukan semata karena fitur keren, melainkan karena aplikasi tersebut memaksa saya menetapkan pola: inbox tunggal, pemisahan catatan aktif dan arsip, serta backlink antar-catatan yang membuat konteks muncul secara otomatis.
Proses migrasi sendiri sederhana tapi menyita waktu. Saya ekspor catatan dari Evernote menjadi file .enex, konversi ke markdown, lalu impor ke aplikasi baru. Di hari pertama saya set alarm dua jam untuk ‘declutter’: hapus duplikat, gabungkan catatan yang sama, dan beri tag konsisten. Ada rasa puas saat melihat jumlah catatan berkurang dari ribuan menjadi beberapa ratus yang memang relevan. Itu langkah psikologis yang penting—kekacauan berkurang, kepala terasa lebih lapang.
Proses penggunaan: ritual yang saya bangun
Aplikasi itu membantu saya membangun ritual. Setiap pagi, saya buka inbox dan lakukan tiga hal: (1) sort ulang catatan baru ke folder proyek atau tag, (2) tentukan satu tindakan nyata untuk catatan yang relevan (tulis email, jadwalkan meeting), (3) tandai sisanya sebagai “lembar ide” untuk ditinjau mingguan. Gaya ini sederhana, namun konsistensi membuat perbedaan besar. Contoh konkret: untuk proyek peluncuran buku saya tahun lalu, saya membuat template meeting yang terdiri dari agenda, keputusan, next action, dan pemilik tugas. Template itu mempercepat dokumentasi dan memastikan tidak ada follow-up yang terlewat.
Saya juga memanfaatkan backlink untuk membangun “jurnal proyek” yang hidup. Alih-alih menulis ulang konteks, saya cukup menautkan catatan riset ke catatan proyek—dalam sekejap, sejarah keputusan dan sumber muncul saat dibutuhkan. Ada momen lucu di kafe saat saya menunjukkan catatan itu kepada kolega; dia terkejut melihat betapa rapi jejak proyek saya. Saya tersenyum, lalu bilang pada diri sendiri bahwa investasi waktu di awal benar-benar terbayar.
Hasil dan pelajaran: bukan aplikasi ajaib, tapi kebiasaan yang konsisten
Hasilnya bukan instan besar-besaran, tetapi progresif dan nyata. Dalam enam bulan, rapor saya berubah: meeting lebih efisien, draft selesai lebih cepat, dan ide yang dulu menguap kini memiliki tempat untuk hidup dan diolah. Yang paling berharga adalah ketenangan mental—perasaan aman karena tahu semua sesuatu tersimpan di tempat yang bisa dipercaya.
Dari pengalaman saya ada beberapa pembelajaran konkret: mulai dari inbox tunggal; batasi struktur awal (terlalu banyak folder justru bikin bingung); gunakan template untuk tugas berulang; lakukan review mingguan; dan jangan takut membersihkan — arsipkan atau hapus. Satu lagi: teknologi memfasilitasi, tetapi disiplinlah yang menyelesaikan pekerjaan.
Di akhir hari, aplikasi catatan itu bukan mantra ajaib. Ia adalah alat yang memaksa saya membangun kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang membuat hidup sehari-hari lebih rapi. Kalau Anda sedang kewalahan dengan catatan—coba satu perubahan kecil: satu inbox, satu review mingguan. Lakukan itu selama tiga minggu. Jika Anda konsisten, hasilnya akan lebih terasa daripada ganti aplikasi beberapa kali dalam setahun.